"Ini Ceritaku, dan Cerita Teman-Temanku"

Powered by Blogger.
Wednesday, January 22, 2014

Berani Berkeluarga, Berani Mendidik Anak

Guru SMAN 3 Batusangkar Berikut ini sebuah tulisan beliau yang membuat saya tercengang membacanya ...

dan sumber tulisan ini dari: Jurnal kita indosiana
berani berkeluarga berani mendidik anak
Foto berani berkeluarga berani mendidik anak

Dunia sekarang penuh dengan label, ada label “smart, cerdas, pintar, hebat, berkualitas dan termasuk label unggul”. Label unggul, dahulu dikaitkan dengan produk hewan atau tanaman. Kita dulu mendengar istilah “sayur unggul, jagung unggul, padi unggul, sapi unggul”. Sekarang malah ada istilah “sekolah unggul, anak unggul dan keluarga unggul.

Ada kesan bahwa siapa saja bisa dan punya kesempatan untuk menciptakan “keunggulan” apakah untuk produk atau untuk keluarganya. Label unggul tidak lagi menjadi dominasi para ahli. Dalam bidang pendidikan, maka setiap kepala keluarga (ayah dan ibu) mempunyai kesempatan untuk menciptakan anak-anak unggul melalui sentuhan pendidikan yang juga unggul.


Benar, bahwa lingkungan keluarga menjadi tempat utama untuk menempa anak-anak menjadi manusia unggul. Apa yang harus dilakukan orang tua ? Ya tentu saja terlebih dahulu membentuk karakter (sikap). Orang tua tentu menjadi model secara langsung. Anak-anak unggul biasanya juga mempunyai orang tua dengan karakter unggul. Orang tua unggul tidak identik dengan orang tua yang memiliki kantong tebal, tetapi orang tua yang memiliki prinsip hidup. Namun cukup banyak orang berkomentar “Wah...pantas saja ia berhasil dan sukses, karena orang tuanya termasuk orang terpandang dan punya posisi tinggi”. Namun mereka juga perlu tahu bahwa cukup banyak anak pejabat yang jangankan kariernya tumbuh, malah sekolah anak mereka saja tak selesai. Bahkan pendidikan/ kehidupan anak-anak mereka juga kacau.

Seorang ahli psikologi, bernama John B. Watson, mengatakan “beri saya seribu bayi dan saya akan jadikan mereka seribu manusia yang anda inginkan”. Pendapat ini menyatakan bahwa betapa besar pengaruh lingkungan- terutama lingkungan rumah dan sekolah- terhadap perkembangan hidup seseorang. Tentu saja sangat beruntung seseorang yang memiliki lingkungan rumah dan sekolah yang kondusif (factor yang mendukung) untuk pertumbuh dan perkembangan kualitas seorang anak. “Bila anda adalah orang tua yang sedang mencari lingkungan baru, maka pilihlah lingkungan rumah dan lingkungan sekolah yang berkualitas buat sang anak”.

Selain faktor lingkungan, latar belakang dan bakat seseorang juga ikut menentukan keberhasilan seorang anak. Andai lingkungan rumah sebagai penentu keberhasilan anak, maka betapa pentingnya peran orang tua dalam mengantarkan masa depan anak. Untuk itu orang tua harus memandang anak sebagai manusia dengan eksistensi yang utuh. Sudah saatnya setiap orang tua punya ilmu tentang mendidik anak, “jangan hanya berlepas tangan dan terlalu menyerahkan urusan pendidikan kepada pihak sekolah”. Bila anak gagal maka tidak layak melemparkan kegagalan pada pihak orang lain “ Wah anakku jadi jelek karena pengaruh lingkungan atau pengaruh sekolah”. Seharusnya juga bisa berucap “Wah anak ku gagal karena peran mendidikku dari rumah kurang maksimal”.

Sekali lagi, bahwa selain pengaruh lingkungan sosial, kualitas perkembangan anak juga ditentukan oleh tingkat kecerdasan, minat, bakat, dan orientasi kehidupannya. Seorang anak yang masuk ke fakultas kedokteran karena orientasi (ambisi) orang tuanya hanya sebatas lulus menjadi dokter. Setelah menjadi dokter tidak ada lagi penambahan kepintarannya, karena orientasinya hanya sebatas bagaimana bisa mencari banyak uang dari pasien yang kaya. Kebanggaan orang tua sendiri hanya berorientasi kearah kantong semata. Namun sekarang karir dokter tak senyaring zaman dahulu, karena banyak masyarakat yang mengerti dengan penyakit dan menemui obat alternative secara mandiri. “Wah kalau demam, batuk, sakit kepala obatnya paracetamol, antibiotic, dan minum multivitamin saja”.

Kurangnya wawasan orang tua, guru dan siswa itu sendiri membuat sang anak menjadi pribadi yang selalu kebingungan. Juga akibat miskin pengalaman, miskin model dan miskin dalam menjelajah kehidupan ini telah membuat banyak anak/ remaja kebingungan: tidak tahu hendak kemana dan bagaimana setelah dewasa. Banyak yang berkomentar : “Aku tidak tahu hendak jadi apa setelah dewasa ?”. Ungkapan frustasi dan ungkapan kebingungan ini muncul akibat anak banyak terkurung dan terkungkung dalam lingkungan rumah dan sekolah. Saat liburan pun mereka masih berkurung dalam rumah, sehingga kurang mengenal betapa bervariasinya dunia kerja ini.

“Mengapa begitu banyak sarjana dilahirkan oleh pergruan tinggi di negeri ini namun negeri kita masih saja tertinggal di berbagai bidang kehidupan”, celetuk seseorang yang bersedih melihat fenomena sosial. Memang, dan kalau di negara maju- kemajuan ekonomi juga didukung oleh kemajuan dalam bidang lain- maju olah raga, maju sastra, maju seni dan juga maju filsafatnya. Sementara kalau bagi kita “aktivitas atau karir dalam bidang seni, budaya, olah raga dan filsafat” kerap dipandang sebagai karir yang kurang favorit.

Kalau pendidikan kita ingin maju dan sejajar dengan bangsa-bangsa yang maju di dunia, maka kita (Indonesia) masih membutuhkan banyak sekali orang hebat pada berbagai bidang kehidupan. Maka pemberian pendidikan yang benar untuk generasi mendatang menjadi semakin krusial. Maksudnya adalah pendidikan buat mereka bukan hanya sekedar ilmu, melainkan juga sarat dengan unsur seni. Idealnya para generasi muda kita bisa mengerti dengan pengetahuan dunia, pengetahuan agama dan seni, sehingga ada orang yang berfilsafat “Dengan ilmu hidup mudah, dengan agama hidup terarah dan dengan seni hidup indah”.

Dalam malpraktek pendidikan di rumah bahwa yang belajar itu cuma kalau anak bisa membuat PR. Sementara kalau ada anak yang mengerjakan hobi menggambar atau bermain gitar itu dianggap buang-buang waktu. Demikian pula pengalaman penulis mengajar pada sebuah boarding school yang mana guru pengasuhnya (pembina asrama) tidak mengenal ilmu mendidik (paedagogi) dan psikologi. Semua santri dilarang bergitar, dilarang memutar music walau lewat MP3 karena itu diasumsikan berhura-hura, buang-buang waktu, mengganggu pembelajaran dan juga bisa mencemari budaya pesantren oleh budaya asing. Namun anak/ santri tidak diberi solusi, akibatnya semua siswa/ santri merasa gersang tinggal di lingkungan sekolah dan akhirnya banyak yang pindah ke sekolah luar.

Ternyata seni itu penting, dan seni itu terletak pada kepekaan orang tua membaca dan memahami kecerdasan, talenta, bakat-bakat khusus, minat, antusias dan orientasi sang anak. Semua ini mesti dicermati sejak anak usia dini, kemudian dipupuk dan ditumbuhkembangkan (disediakan fasilitasnya). Dengan demikian ketika anak memasuki usia remaja, sudah tergambar bidang apa yang kelak paling cocok untuk ditekuni anak- karakter seni anak akan terlihat.

Dengan demikian bahwa pembentukan karakter itu penting. Menjadi tugas orang tua untuk mengarahkan anak untuk memilih karakter yang kuat. Dalam hal ini keteladanan orang tua adalah segala-galanya. Sebetulnya anak selalu memperhatikan karakter orang tua, misalnya ketika menghadapi situasi sulit, akankah orang tua menghadapi dengan gagah berani atau justru menghindari, tekun dan disiplin dalam pekerjaan ataukan gemar mencari jalan pintas.

Seorang remaja, ketika kecil terlihat begitu cerdas dalam berkomunikasi dan tekun dalam belajar. Namun setelah menginjak bangku SMA sang remaja berumah menjadi orang yang pasif, mudah putus asa dan senang dibantu. Ternyata lingkungan rumah telah merobek karakter positif yang saat kecil: anak tidak dilibatkan dalam kegiatan rumah, anak banyak dilarang, anak kurang dikondisikan untuk memiliki banyak pengalaman. Lingkungan rumah perlu membentuk karakter kuat pada diri anak.

Pria-pria dewasa yang tidak punya tanggung jawab- dari pagi hingga malam cuma banyak bengong, secara kasar bahwa pintarnya cuma “mancilok atau akronim dari Mandi Cirit (beol) dan Lalok (tidur)” nyaris menciptakan anak anak yang juga bingung menghadapi dunia. Pelajar-pelajar yang malas dan keluyuran disekolah, begitu ditelusuri ke rumah, ternyata mereka punya ayaj yang tidak tahu dengan peranannya. Sebaliknya ayah yang punya karakter- rajin, jujur, dan hidup bersemangat juga akan memiliki ansak anak yang punya prinsip hidup yang juga terarah. Karakter yang kuat akan menopang sukses jangka panjang bersama orang lain. Ternyata memang lingkungan keluargalah yang berperan penting dalam menempa dan membangun karakter sejumlah tokoh sukses di negeri kita.

Sudarmadi dalam majalah Swa Sembada (22 Januari 2009) menulis bahwa tidak sedikit keluarga yang berhasil mendidik anak-anaknya sehingga sebahagian besar punya karier dan prestasi di bidang yang mereka geluti. Bagaimana mereka melahirkan generasi seperti itu dan apa gizi yang diberikan ?

Orang orang unggul sebenarnya bukan produk langsung dari sekolah (SMA dan Universitas) yang mereka lalui, jauh sebelumnya mereka telah tumbuh dari keluarga yang memiliki prinsip hidup. Tentu ada prinsip atau aturan yang mereka kerjakan dan prinsip atau aturan yang mereka hindari.

Yang harus dilakukan keluarga agar anak tumbuh berkualitas adalah:

1. Memberikan kesempatan untuk berkembang sesuai dengan minat dan bakat.

2. Menciptakan suasana agar anak bisa fun dan enjoy dalam pengembangan diri.

3. Menanamkan nilai-nilai positif (kerja keras, disiplin, dan sadar waktu).

4. Membekali anak dengan pendidikan formal memadai.

5. Menumbuhkan keterampilan social dan intelektual.

6. Mendorong semangat berkompetisi dan berprestasi.

7. Membiasakan anak berjuang dulu dalam meminta sesuatu

8. Memberi anak tanggung jawab (tugas rumah)

Kemudian prinsip (aturan) yang tidak boleh dilakukan adalah :

1. Mengarahkan anak tanpa melihat konteks lingkungan dan zamannya.

2.Memaksakan minat anak sesuai dengan kehendak orang tua.

3. Menuruti semua permintaan anak.

4. Menganggap anak tidak berpotensi sehingga lebih banyak mendidik dengan

memerintah.

5. Banyak menuntut kepada anak sementara orang tua tidak mengimbangi dengan

pengorbanan.

Namun cukup aneh bahwa fenomena yang sering ditemui dalam praktek mendidik anak di rumah adalah melaksanakan prinsip yang seharusnya ditinggalkan. Sering anak-anak protes dan berkata “wah mama terlalu cerewet atau papa terlalu banyak campur”. Ini merupakan indikator negative bahwa orang tua terlalu banyak mengarahkan anak sampai hal-hal detail, akibatnya suasana fun dan enjoy (suasana menyenangkan) menjadi hilang. Yang timbul adalah suasana serba diatur, dicampuri dan didikte.

Orang tua berusia muda, yang kurang memiliki ilmu parenting (bagaimana menjadi orang tua) sering terjebak dalam menuruti semua permintaan anak. Seringkali anak kadang- kadang asal minta saja, setelah dibelikan, ternyata benda tadi tidak bisa dimanfaatkan. Begitu pula bagi mereka yang ambisi agar anak cerdas, sering terkesan memaksakan anak. “Wah kamu kalau sekolah di SMA, idealnya ambil saja jurusan IPA, nanti bakal bisa jadi dokter”. Sementara bakat dan minat anak adalah pada seni dan sastra, “wah pilih seni dan sastra...mau jadi apa kamu kelak, mau ngamen...!!”. Sering orang tua memandang jurusan ini dengan sebelah mata.

Penulis sendiri sering terjebak terlalu banyak memaksa dan menuntut anak. “Hei membaca,...hei ...kembangkan hobbi mu...”. Namun perlu disadari yang diperlukan anak bukan banyak menuntut tetapi sediakan fasilitas belajar dan berkarya buat mereka dan setelah itu memberi pemodelan buat anak- model dalam belajar dan berkarya. Memang benar, hidup makin susah, tapi jangan menyerah dan perlu perjuangan. Bagi yang sudah punya keluarga dan punya anak, maka mereka harus member model- tahu dengan parenting atau seni menjadi orang tua. Secara berseloroh dapat dikatakan bahwa : Berani punya keluarga ya tentu juga berani mendidik mereka sejak dini.

Tags :

Related : Berani Berkeluarga, Berani Mendidik Anak

0 komentar:

Post a Comment